Dalam
sebuah kamus bahasa Indonesia, demonstrasi diartikan sebagai
pengungkapan kemauan secara beramai-ramai baik setuju atau tidak setuju
akan sesuatu, sambil berarak-arakan dengan membawa spanduk/panji-panji,
poster, dan sebagainya yang berisikan tulisan yang menggambarkan tujuan
demonstrasi tersebut.
Jadi, demonstrasi adalah suatu metode untuk mengungkapkan aspirasi para demonstran terhadap negara atau atasan dengan menuntut terwujudnya tuntutan mereka dari aksi tersebut.
Sejarah Demonstrasi
Bila kita telusuri sejarah, akan kita dapati bahwa demonstrasi bukan
berasal dari Islam. Demonstrasi tidak dikenal pada zaman Nabi dan para
sahabat, tetapi dilakukan oleh orang Khowarij yang ingin menggulingkan
Utsman dan Ali bin Abi Tholib.
Kemudian seiring dengan
bergolaknya revolusi Prancis, demonstrasi dihidupkan oleh orang-orang
kafir Prancis bersama dengan induknya yang bernama demokrasi. Oleh
karena itu, negara Prancis secara resmi memasukkan demokrasi dalam
undang-undang mereka dengan label Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun
1791. Disebutkan dalam pasal tiga, “Rakyat adalah sumber kekuasaan,
setiap badan dan individu berhak mengatur hukum, hukum dan hak diambil
dari mereka.” Ini adalah penegasan bahwa kekuasaan adalah milik rakyat
yang tidak dapat dipenggal-penggal lagi serta tanpa kompromi dan tidak
akan dapat diubah-ubah.
Kemudian tatkala Prancis menjajah
dunia, di antaranya adalah negara-negara Arab seperti Mesir, Tunisia,
Aljazair, Maroko, dan negara-negara muslim lainnya, maka secara
bersamaan masuklah sistem demokrasi tersebut ke negeri-negeri jajahan.
Jadi jelas sudah, Demokrasi Tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir dan kebiasaan kaum munafik khawarij
Alloh subhaanahu wa ta’aala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا [آل عمران
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir itu.”[Ali Imran:156]
Dan Alloh ta’aala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا
انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ _ مَا يَوَدُّ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ
يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ
بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ_
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada
Muhammad) “Raa’ina” tetapi katakanlah “Undzurna” dan dengarlah. Dan bagi
orang-orang kafir adzab yang pedih.
Orang-orang kafir dari
Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya
sesuatu kebaikan kepada kalian dari Rabb kalian. Dan Alloh menentukan
siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian) ; Dan
Alloh mempunyai karunia yang besar.”[Al Baqarah:104-105]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya (1/374):
“Padanya terdapat dalil yang menunjukkan larangan keras dan ancaman
menyerupai orang-orang kafir dalam berbagai ucapan, amalan, busana, hari
perayaan dan berbagai ibadah mereka dan yang selain itu dari
perkara-perkara mereka yang tidak disyariatkan kepada kita dan janganlah
kita mengikrarkan akan perbuatan-perbuatan mereka tsb.”
Dan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“ من تشبه بقوم فهو منهم”
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia tergolong dari mereka.”
[HR Abu Dawud dan Ahmad dari Ibnu ‘Umar radhiyAllohu ‘anhuma. Hadits jayyid].
Di dalam demonstrasi tersimpan kemungkaran yang begitu banyak, seperti
keluarnya wanita (ikut serta demonstrasi, padahal seharusnya dilindungi
di dalam rumah, bukan di jadikan umpan), demikian pula anak-anak kecil,
serta adanya ikhtilath, bersentuhan kulit dengan kulit, berdua-duaan
antara laki-laki dan perempuan, ditambah lagi lagi ‘hiasan’ berupa
celaan, umpatan keji, omongan yang tidak beradab. Ini semua menunjukkan
keharaman demonstrasi.
Dalam Demontrasi pastinya membutuhkan
biaya yang tidak sedikit, baik itu biaya sarana tranportasi, biaya
konsumsi, dan biaya lainnya. Kadang orang-orang yang melakukan
demontrasi ngakunya para pekerja kelas bawah seperti buruh, tidak sediit
dari mereka lebih mementingkan iuran buat demontrasi daripada uang
untuk biaya hidup keluarganya. Dan semua itu adalah termasuk pemborosan.
Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS.
Al Isro’: 26-27).
Demontrasi tidak luput juga dengan
mengganggu kepentingan Umum, tidak sedikit para pengguna jalan mengeluh,
menggerutu karena mereka terjebak macet, atau perjalanannya dialihkan
lebih jauh lagi dari biasanya. Kemudian tidak sedikit mereka yang
membuang sampah sembarangan, yang membuat para petugas kebersihan kadang
mesti kerja ekstra tambahan waktu, jika sudah ada aksi demontrasi.
Jelas itu merupakan perbuatan mudhorot (merugikan) bagi orang lain.
Bukankan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Berpesan :
“Tidak boleh memberi mudharat (kepada orang lain) dan tidak boleh saling menimpakan mudharat satu sama lain”
(HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruqutni dll dan hadits hasan)
Tidak sedikit Demontasi yang berujung dengan kerusuhan merusak
fasilitas-fasilitas umum, dan lain sebagainya. Allah ta’aala berfirman
tentang orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا
نَحْنُ مُصْلِحُونَ ! أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا
يَشْعُرُونَ!
“Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya Kami
orang-orang yang Mengadakan perbaikan.”
Ingatlah, Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.”
[Al Baqarah: 11-12]
Berkata Al Allamah As Sa’diy dalam tafsirnya (1/42):
“Maka mereka mengumpulkan tindakan perusakan di muka bumi dan
menampakkan bahwa itu bukanlah termasuk tindakan perusakan bahkan
perbaikan dengan maksud memutarbalikan fakta dan menggabungkan antara
perbuatan yang batil dan keyakinan akan benarnya (perbuatan perusakan
yang mereka lakukan)”.
Dan tindakan perusakan di muka bumi adalah haram hukumnya menurut Islam.
Alloh ta’aala berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا [الأعراف : 56]
“Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Alloh) memperbaikinya.”
Dan Alloh ta’aala berfirman:
وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ [البقرة : 27]
“Dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.” [Al Baqarah:27]
Dan Alloh ta’aala berfirman:
وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ [الرعد : 25]
“… dan mereka mengadakan perusakan di bumi, orang-orang itulah yang
memperoleh kutukan (laknat) dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk
(Jahannam).” [Ar Ra'd:25]
Di samping para Demonstran melakukan
berbagai macam kerusakan di saat melakukan demonstrasi tersebut, bahkan
terjadi pula bentrok dengan aparat keamanan. Sementara Rasulullah
shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ.
“Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidaklah ia
mendzaliminya, menghinakannya dan tidak merendahkannya.” [H.R. Muslim]
Dan beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ ».
“Orang Islam atas orang Islam lainnya adalah haram darahnya (untuk
ditumpahkan), hartanya (diambil) dan kehormatannya.” [H.R. Muslim]
Dan Demonstrasi bukanlah termasuk di antara bentuk nasihat kepada
penguasa/pemerintah sebagaimana yang telah disangka oleh sebagian
orang.
Memang Menasihati pemerintah untuk menjalankan tugasnya
selaku penguasa adalah perkara yang wajib. Terlebih lagi jika perkara
tersebut berhubungan dengan perkara halal dan haram dalam syariat Islam.
Tentunya metode yang dipakai dalam menasihati penguasa/pemerintah
adalah dengan mengambil cara nasihat yang baik dan benar, yaitu disertai
dengan bimbingan dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman para
ulama sunnah. Yang demikian itu karena apabila seseorang yang
berkehendak untuk menasihati pemerintah tanpa disertai dengan bimbingan
dan tuntunan dari Al Qur’an dan As Sunnah maka ia pun akan terjatuh
dalam berbagai penyimpangan dan kemungkaran tanpa ia sadari. Maka, wajib
bagi seseorang yang berkeinginan menasihati pemerintah agar mempelajari
terlebih dahulu dengan matang etika-etika dalam menasihati penguasa.
Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- yang ma’shum, yang tidak
berkata kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya. Semua perkataan bisa
diterima atau ditolak, kecuali perkataan beliau -shallallahu’alaihi wa
sallam-, beliau bersabda:
من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ولكن يأخذ بيده فيخلوا به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia
menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan
sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka
itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah
melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim
dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-. Hadits ini
di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- dalam Zhilalul
Jannah, (no. 1096)]
Demikianlah bimbingan Nabi yang mulia
teladan kita –shallallahu’alaihi wa sallam- dalam menasihati penguasa.
Lalu seperti apakah pemahaman dan pengamalan terhadap hadits di atas
oleh para pengikut sunnah yang sejati, yakni para sahabat dan ulama
Ahlus Sunnah wal Jama’ah?
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim -rahimahumallah- dalam Shahih keduanya meriwayatkan:
قيل لأسامة لو أتيت فلانا (عند الامام مسلم: عثمان بن عفان –رضي الله
عنه-) فكلمته . قال إنكم لترون أنى لا أكلمه إلا أسمعكم ، إنى أكلمه فى
السر دون أن أفتح بابا لا أكون أول من فتحه
“Dikatakan kepada
Usamah (bin Zaid) radhiyallahu’anhuma, “Kalau sekiranya engkau
mendatangi si fulan (dalam riwayat Al-Imam Muslim, si fulan yang
dimaksud adalah: Utsman bin Affan radhiyallahu‘anhu) lalu engkau
menasihatinya?” Usamah menjawab, “Sesungguhnya kalian benar-benar
mengira bahwa aku tidak menasihatinya, kecuali jika aku
memperdengarkannya kepada kalian?! Sungguh aku telah menasihatinya
secara diam-diam, tanpa aku membuka sebuah pintu yang semoga aku
bukanlah orang pertama yang membuka pintu tersebut.” [HR. Al-Bukhari,
(no. 3267, 7098) dan Muslim, (no. 7408) dari Abu Wa’il
radhiyallahu’anhu]
Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah-
menjelaskan maksud perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-,
“Sungguh aku telah berbicara (menasihati) beliau tanpa aku membuka
sebuah pintu“, maknanya adalah: “Aku telah menasihatinya dalam perkara
yang kalian isyaratkan tersebut, tetapi dengan memperhatikan maslahat
dan adab (dalam menasihati penguasa), yakni secara rahasia, sehingga
tidak terjadi pada perkataan (nasihatku) ini sesuatu yang bisa
mengobarkan fitnah.” [Lihat Fathul Bari, (13/51)]
Al-Hafizh
Ibnu Hajar -rahimahullah- juga menukil penjelasan sebagian ulama tentang
kemungkaran yang diisyaratkan kepada Usamah bin Zaid
-radhiyallahu’anhuma- ternyata bukanlah kemungkaran yang tersembunyi
dari masyarakat, tetapi kemungkaran yang zhahir dan telah tersebar
beritanya di tengah-tengah masyarakat, yaitu tentang salah seorang
pejabat Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- yang bernama Al-Walid bin
‘Uqbah yang tercium dari mulutnya bau nabidz (sejenis khamar), kemudian
Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata dalam menjelaskan perkataan
Usamah,
“Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia (tidak
terang-terangan), tanpa aku membuka sebuah pintu”, makna (pintu) yang
dimaksud adalah: “Pintu pengingkaran atas kemungkaran para penguasa
secara terang-terangan, karena khawatir akan memecah belah kalimat
(yakni persatuan kaum muslimin di bawah seorang pemimpin)”, kemudian
beliau (Usamah) memberitahu mereka bahwa ia tidak sedikitpun mencari
muka pada seseorang meskipun pada seorang pemimpin, akan tetapi ia telah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk menasihati pemimpin secara
rahasia (tidak terang-terangan)”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]
Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata, “Maksud Usamah, bahwa ia tidak
ingin membuka pintu (memberi contoh) cara mengingkari penguasa dengan
terang-terangan, karena ia khawatir dampak buruk dari cara tersebut.
Akan tetapi yang beliau lakukan adalah dengan lemah lembut dan
menasihati secara rahasia, karena cara tersebut lebih dapat diterima”.
[Lihat Fathul Bari, (13/52)]
Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Aini
Al-Hanafi –rahimahullah- juga menjelaskan perkataan Usamah bin Zaid
-radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia“,
maknanya, “Aku menasehati penguasa secara diam-diam, sehingga aku tidak
membuka sebuah pintu dari pintu-pintu fitnah. Kesimpulannya, aku
(Usamah) menasihatinya demi meraih kemaslahatan bukan untuk memprovokasi
munculnya fitnah (masalah), karena cara mengingkari para penguasa
dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya.
Sebab pada cara tersebut terdapat pencemaran nama baik para pemimpin
yang mengantarkan kepada terpecahnya kalimat (persatuan kaum muslimin)
dan tercerai-berainya jama’ah”. [Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih
Al-Bukhari, (23/33)]
Al-Imam Al-Qurthubi -rahimahullah-
menerangkan perkataan Usamah dalam riwayat Muslim: “Sungguh aku telah
menasihatinya secara empat mata”, maksudnya adalah, “Ia (Usamah) telah
menasihati Utsman -radhiyallahu’anhu- secara langsung dengan perkataan
yang lembut, karena yang demikian itu lebih hati-hati untuk menghindari
cara terang-terangan dalam mengingkari penguasa dan menghindari sikap
penentangan terhadap penguasa, sebab cara menasihati penguasa dengan
terang-terangan sangat berpotensi melahirkan berbagai macam fitnah dan
kerusakan.” [Lihat Al-Mufhim Syarah Shohih Muslim, (6/619)]
Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata, “Sepatutnya bagi orang yang
mengetahui kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati
penguasa tersebut, dan janganlah ia menampakan celaan kepada penguasa
di depan publik. Akan tetapi sebagaimana terdapat dalam hadits (yakni
hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-), hendaklah ia meraih tangan
sang penguasa dan menyepi dengannya, lalu menasihatinya, dan janganlah
ia menghinakan sultan (penguasa) Allah”.[Lihat As-Sail Al-Jarrar,
(4/556)]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
–rahimahullah- berkata, “Bagi siapa yang melihat suatu kemungkaran yang
dilakukan oleh penguasa, hendaklah ia memperingatkan mereka secara
rahasia, tidak terang-terangan di khalayak, dengan cara yang lembut dan
perkataan yang sesuai dengan keadaan.” [Lihat Ar-Riyadh An-Nadhirah,
(hal. 50)]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz –rahimahullah- berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf, membeberkan
aib-aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, karena hal
itu akan mengantarkan kepada ketidakstabilan (negara), sehingga
masyarakat tidak mau dengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara
ma’ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak
bermanfaat. Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah menasehati secara
empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses
langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada
kebaikan”. [Lihat Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, (hal. 27)]
Faqihuz
Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah-
berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah
terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama: Hendaklah setiap orang
khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus
amalannya. Kedua: Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka
jadilah itu sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang
pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan
terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset Asilah haula Lajnah
Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]
Dari penjelasan para ulama di atas, telah sangat jelas bahwa dalam
menasihati penguasa tidak boleh dilakukan secara terang-terangan, baik
melalui demonstrasi, berbicara di mimbar-mimbar terbuka, ataupun melalui
kolom opini dan artikel yang disebarkan secara terbuka di media-media.
Maka jelaslah, ketika sudah tidak ada lagi solusi lain untuk merubah
kemungkaran penguasa, tidak dibenarkan sama sekali melakukan
demonstrasi, meskipun berupa aksi damai dan tidak pula dengan menyebar
artikel dan berbicara tentang kejelekan penguasa di khalayak ramai,
karena semua itu bertentangan dengan tuntunan Allah Ta’ala yang lebih
mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Jadi, tidak ada dalam Islam
istilah demonstrasi Islami. Adapun yang dituntunkan oleh teladan kita,
Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para sahabat
-radhiyallahu’anhum- adalah sabar dan doa.
Inilah
sebaik-baiknya solusi bagi orang-orang yang beriman kepada ayat Allah
Ta’ala dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu’alaihi wa sallam-.
Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Muwaffiq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar