01 Mei 2013

Kebusukan Unjuk Rasa / Demontrasi

Dalam sebuah kamus bahasa Indonesia, demonstrasi diartikan sebagai pengungkapan kemauan secara beramai-ramai baik setuju atau tidak setuju akan sesuatu, sambil berarak-arakan dengan membawa spanduk/panji-panji, poster, dan sebagainya yang berisikan tulisan yang menggambarkan tujuan demonstrasi tersebut.

Jadi, demonstrasi adalah suatu metode untuk mengungkapkan aspirasi para demonstran terhadap negara atau atasan dengan menuntut terwujudnya tuntutan mereka dari aksi tersebut.

Sejarah Demonstrasi

Bila kita telusuri sejarah, akan kita dapati bahwa demonstrasi bukan berasal dari Islam. Demonstrasi tidak dikenal pada zaman Nabi dan para sahabat, tetapi dilakukan oleh orang Khowarij yang ingin menggulingkan Utsman dan Ali bin Abi Tholib.

Kemudian seiring dengan bergolaknya revolusi Prancis, demonstrasi dihidupkan oleh orang-orang kafir Prancis bersama dengan induknya yang bernama demokrasi. Oleh karena itu, negara Prancis secara resmi memasukkan demokrasi dalam undang-undang mereka dengan label Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1791. Disebutkan dalam pasal tiga, “Rakyat adalah sumber kekuasaan, setiap badan dan individu berhak mengatur hukum, hukum dan hak diambil dari mereka.” Ini adalah penegasan bahwa kekuasaan adalah milik rakyat yang tidak dapat dipenggal-penggal lagi serta tanpa kompromi dan tidak akan dapat diubah-ubah.

Kemudian tatkala Prancis menjajah dunia, di antaranya adalah negara-negara Arab seperti Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, dan negara-negara muslim lainnya, maka secara bersamaan masuklah sistem demokrasi tersebut ke negeri-negeri jajahan.

Jadi jelas sudah, Demokrasi Tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir dan kebiasaan kaum munafik khawarij




Alloh subhaanahu wa ta’aala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا [آل عمران

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir itu.”[Ali Imran:156]

Dan Alloh ta’aala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ _ مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ_

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad) “Raa’ina” tetapi katakanlah “Undzurna” dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir adzab yang pedih.

Orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepada kalian dari Rabb kalian. Dan Alloh menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian) ; Dan Alloh mempunyai karunia yang besar.”[Al Baqarah:104-105]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya (1/374):
“Padanya terdapat dalil yang menunjukkan larangan keras dan ancaman menyerupai orang-orang kafir dalam berbagai ucapan, amalan, busana, hari perayaan dan berbagai ibadah mereka dan yang selain itu dari perkara-perkara mereka yang tidak disyariatkan kepada kita dan janganlah kita mengikrarkan akan perbuatan-perbuatan mereka tsb.”

Dan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“ من تشبه بقوم فهو منهم”

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia tergolong dari mereka.”
[HR Abu Dawud dan Ahmad dari Ibnu ‘Umar radhiyAllohu ‘anhuma. Hadits jayyid].

Di dalam demonstrasi tersimpan kemungkaran yang begitu banyak, seperti keluarnya wanita (ikut serta demonstrasi, padahal seharusnya dilindungi di dalam rumah, bukan di jadikan umpan), demikian pula anak-anak kecil, serta adanya ikhtilath, bersentuhan kulit dengan kulit, berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan, ditambah lagi lagi ‘hiasan’ berupa celaan, umpatan keji, omongan yang tidak beradab. Ini semua menunjukkan keharaman demonstrasi.

Dalam Demontrasi pastinya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, baik itu biaya sarana tranportasi, biaya konsumsi, dan biaya lainnya. Kadang orang-orang yang melakukan demontrasi ngakunya para pekerja kelas bawah seperti buruh, tidak sediit dari mereka lebih mementingkan iuran buat demontrasi daripada uang untuk biaya hidup keluarganya. Dan semua itu adalah termasuk pemborosan. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27).

Demontrasi tidak luput juga dengan mengganggu kepentingan Umum, tidak sedikit para pengguna jalan mengeluh, menggerutu karena mereka terjebak macet, atau perjalanannya dialihkan lebih jauh lagi dari biasanya. Kemudian tidak sedikit mereka yang membuang sampah sembarangan, yang membuat para petugas kebersihan kadang mesti kerja ekstra tambahan waktu, jika sudah ada aksi demontrasi. Jelas itu merupakan perbuatan mudhorot (merugikan) bagi orang lain. Bukankan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Berpesan :
“Tidak boleh memberi mudharat (kepada orang lain) dan tidak boleh saling menimpakan mudharat satu sama lain”
(HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruqutni dll dan hadits hasan)

Tidak sedikit Demontasi yang berujung dengan kerusuhan merusak fasilitas-fasilitas umum, dan lain sebagainya. Allah ta’aala berfirman tentang orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ ! أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ!

“Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya Kami orang-orang yang Mengadakan perbaikan.”

Ingatlah, Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.”
[Al Baqarah: 11-12]

Berkata Al Allamah As Sa’diy dalam tafsirnya (1/42):
“Maka mereka mengumpulkan tindakan perusakan di muka bumi dan menampakkan bahwa itu bukanlah termasuk tindakan perusakan bahkan perbaikan dengan maksud memutarbalikan fakta dan menggabungkan antara perbuatan yang batil dan keyakinan akan benarnya (perbuatan perusakan yang mereka lakukan)”.

Dan tindakan perusakan di muka bumi adalah haram hukumnya menurut Islam.

Alloh ta’aala berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا [الأعراف : 56]

“Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Alloh) memperbaikinya.”

Dan Alloh ta’aala berfirman:

وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ [البقرة : 27]

“Dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.” [Al Baqarah:27]

Dan Alloh ta’aala berfirman:

وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ [الرعد : 25]

“… dan mereka mengadakan perusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan (laknat) dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” [Ar Ra'd:25]

Di samping para Demonstran melakukan berbagai macam kerusakan di saat melakukan demonstrasi tersebut, bahkan terjadi pula bentrok dengan aparat keamanan. Sementara Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ.

“Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidaklah ia mendzaliminya, menghinakannya dan tidak merendahkannya.” [H.R. Muslim]

Dan beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ ».

“Orang Islam atas orang Islam lainnya adalah haram darahnya (untuk ditumpahkan), hartanya (diambil) dan kehormatannya.” [H.R. Muslim]

Dan Demonstrasi bukanlah termasuk di antara bentuk nasihat kepada penguasa/pemerintah sebagaimana yang telah disangka oleh sebagian orang.

Memang Menasihati pemerintah untuk menjalankan tugasnya selaku penguasa adalah perkara yang wajib. Terlebih lagi jika perkara tersebut berhubungan dengan perkara halal dan haram dalam syariat Islam. Tentunya metode yang dipakai dalam menasihati penguasa/pemerintah adalah dengan mengambil cara nasihat yang baik dan benar, yaitu disertai dengan bimbingan dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman para ulama sunnah. Yang demikian itu karena apabila seseorang yang berkehendak untuk menasihati pemerintah tanpa disertai dengan bimbingan dan tuntunan dari Al Qur’an dan As Sunnah maka ia pun akan terjatuh dalam berbagai penyimpangan dan kemungkaran tanpa ia sadari. Maka, wajib bagi seseorang yang berkeinginan menasihati pemerintah agar mempelajari terlebih dahulu dengan matang etika-etika dalam menasihati penguasa.

Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- yang ma’shum, yang tidak berkata kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya. Semua perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-, beliau bersabda:

من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ولكن يأخذ بيده فيخلوا به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه

“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-. Hadits ini di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- dalam Zhilalul Jannah, (no. 1096)]

Demikianlah bimbingan Nabi yang mulia teladan kita –shallallahu’alaihi wa sallam- dalam menasihati penguasa. Lalu seperti apakah pemahaman dan pengamalan terhadap hadits di atas oleh para pengikut sunnah yang sejati, yakni para sahabat dan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah?

Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim -rahimahumallah- dalam Shahih keduanya meriwayatkan:

قيل لأسامة لو أتيت فلانا (عند الامام مسلم: عثمان بن عفان –رضي الله عنه-) فكلمته . قال إنكم لترون أنى لا أكلمه إلا أسمعكم ، إنى أكلمه فى السر دون أن أفتح بابا لا أكون أول من فتحه

“Dikatakan kepada Usamah (bin Zaid) radhiyallahu’anhuma, “Kalau sekiranya engkau mendatangi si fulan (dalam riwayat Al-Imam Muslim, si fulan yang dimaksud adalah: Utsman bin Affan radhiyallahu‘anhu) lalu engkau menasihatinya?” Usamah menjawab, “Sesungguhnya kalian benar-benar mengira bahwa aku tidak menasihatinya, kecuali jika aku memperdengarkannya kepada kalian?! Sungguh aku telah menasihatinya secara diam-diam, tanpa aku membuka sebuah pintu yang semoga aku bukanlah orang pertama yang membuka pintu tersebut.” [HR. Al-Bukhari, (no. 3267, 7098) dan Muslim, (no. 7408) dari Abu Wa’il radhiyallahu’anhu]

Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- menjelaskan maksud perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah berbicara (menasihati) beliau tanpa aku membuka sebuah pintu“, maknanya adalah: “Aku telah menasihatinya dalam perkara yang kalian isyaratkan tersebut, tetapi dengan memperhatikan maslahat dan adab (dalam menasihati penguasa), yakni secara rahasia, sehingga tidak terjadi pada perkataan (nasihatku) ini sesuatu yang bisa mengobarkan fitnah.” [Lihat Fathul Bari, (13/51)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- juga menukil penjelasan sebagian ulama tentang kemungkaran yang diisyaratkan kepada Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma- ternyata bukanlah kemungkaran yang tersembunyi dari masyarakat, tetapi kemungkaran yang zhahir dan telah tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat, yaitu tentang salah seorang pejabat Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- yang bernama Al-Walid bin ‘Uqbah yang tercium dari mulutnya bau nabidz (sejenis khamar), kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata dalam menjelaskan perkataan Usamah,

“Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia (tidak terang-terangan), tanpa aku membuka sebuah pintu”, makna (pintu) yang dimaksud adalah: “Pintu pengingkaran atas kemungkaran para penguasa secara terang-terangan, karena khawatir akan memecah belah kalimat (yakni persatuan kaum muslimin di bawah seorang pemimpin)”, kemudian beliau (Usamah) memberitahu mereka bahwa ia tidak sedikitpun mencari muka pada seseorang meskipun pada seorang pemimpin, akan tetapi ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menasihati pemimpin secara rahasia (tidak terang-terangan)”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]

Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata, “Maksud Usamah, bahwa ia tidak ingin membuka pintu (memberi contoh) cara mengingkari penguasa dengan terang-terangan, karena ia khawatir dampak buruk dari cara tersebut. Akan tetapi yang beliau lakukan adalah dengan lemah lembut dan menasihati secara rahasia, karena cara tersebut lebih dapat diterima”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]

Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi –rahimahullah- juga menjelaskan perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia“, maknanya, “Aku menasehati penguasa secara diam-diam, sehingga aku tidak membuka sebuah pintu dari pintu-pintu fitnah. Kesimpulannya, aku (Usamah) menasihatinya demi meraih kemaslahatan bukan untuk memprovokasi munculnya fitnah (masalah), karena cara mengingkari para penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya. Sebab pada cara tersebut terdapat pencemaran nama baik para pemimpin yang mengantarkan kepada terpecahnya kalimat (persatuan kaum muslimin) dan tercerai-berainya jama’ah”. [Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, (23/33)]

Al-Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- menerangkan perkataan Usamah dalam riwayat Muslim: “Sungguh aku telah menasihatinya secara empat mata”, maksudnya adalah, “Ia (Usamah) telah menasihati Utsman -radhiyallahu’anhu- secara langsung dengan perkataan yang lembut, karena yang demikian itu lebih hati-hati untuk menghindari cara terang-terangan dalam mengingkari penguasa dan menghindari sikap penentangan terhadap penguasa, sebab cara menasihati penguasa dengan terang-terangan sangat berpotensi melahirkan berbagai macam fitnah dan kerusakan.” [Lihat Al-Mufhim Syarah Shohih Muslim, (6/619)]

Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata, “Sepatutnya bagi orang yang mengetahui kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati penguasa tersebut, dan janganlah ia menampakan celaan kepada penguasa di depan publik. Akan tetapi sebagaimana terdapat dalam hadits (yakni hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-), hendaklah ia meraih tangan sang penguasa dan menyepi dengannya, lalu menasihatinya, dan janganlah ia menghinakan sultan (penguasa) Allah”.[Lihat As-Sail Al-Jarrar, (4/556)]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rahimahullah- berkata, “Bagi siapa yang melihat suatu kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, hendaklah ia memperingatkan mereka secara rahasia, tidak terang-terangan di khalayak, dengan cara yang lembut dan perkataan yang sesuai dengan keadaan.” [Lihat Ar-Riyadh An-Nadhirah, (hal. 50)]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –rahimahullah- berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf, membeberkan aib-aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan mengantarkan kepada ketidakstabilan (negara), sehingga masyarakat tidak mau dengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak bermanfaat. Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah menasehati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan”. [Lihat Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, (hal. 27)]

Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama: Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya. Kedua: Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset Asilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]

Dari penjelasan para ulama di atas, telah sangat jelas bahwa dalam menasihati penguasa tidak boleh dilakukan secara terang-terangan, baik melalui demonstrasi, berbicara di mimbar-mimbar terbuka, ataupun melalui kolom opini dan artikel yang disebarkan secara terbuka di media-media.

Maka jelaslah, ketika sudah tidak ada lagi solusi lain untuk merubah kemungkaran penguasa, tidak dibenarkan sama sekali melakukan demonstrasi, meskipun berupa aksi damai dan tidak pula dengan menyebar artikel dan berbicara tentang kejelekan penguasa di khalayak ramai, karena semua itu bertentangan dengan tuntunan Allah Ta’ala yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Jadi, tidak ada dalam Islam istilah demonstrasi Islami. Adapun yang dituntunkan oleh teladan kita, Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para sahabat -radhiyallahu’anhum- adalah sabar dan doa.

Inilah sebaik-baiknya solusi bagi orang-orang yang beriman kepada ayat Allah Ta’ala dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu’alaihi wa sallam-.

Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Muwaffiq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar