Hukum Rajam merupakan wahyu dari Allah kepada Para Rasul, seperti
Nabi Moses, Nabi Yesus, Nabi Muhammad untuk menegakkan hukum rajam bagi
pezina yang telah menikah.
Imamat 20:10
“Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni
berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu”
Menurut orang Nasrani, Hukum Rajam
tidak berlaku, karena Yesus sudah mengganti hukum fisik (baca Taurat)
tersebut melalui cara penebusan dosa disalib, dan mereka menggunakan
sebuah kisah dalam Alkitab antara Yesus, wanita pezinah dan ahli Taurah
sebagai pembenaran!
Di mana pada kejadian itu di ceritakan bahwa Yesus tidak merajam
wanita pezinah, namun mengatakan bagi yang dirinya tidak berdosa
silahkan mulai menimpuk, dan inilah kisah lengkap dari kisah Alkitab
Yohanes tersebut:
Yohanes “
8:6 “Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka
memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu
menulis dengan jari-Nya di tanah.
8:7 “Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun
bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: /”Barangsiapa di antara kamu
tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada
perempuan itu.”*
8:8 “Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.
8:9 “Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka
seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus
seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya”
8:10 “Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: /”Hai
perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum
engkau?”*
8:11 “Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: /”Akupun tidak
menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari
sekarang.”*
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah benar alasan utama Yesus
tidak merajam si wanita karena ia ingin menghapuskan hukum fisik dan
terlebih lagi kejadian itu sebagai bukti nyata bagi umat Kristen untuk
membenarkan penghapusan hukum fisik?
Lagi-lagi tidak ada bukti sama sekali yang mendukung pendapat,
argumen dan kepercayaan orang Kristen. Karena memang ayat-ayat diatas
tidak memberikan secuil dukungan pun padanya.
Jangan khawatir saya akan jelaskan alasan Yesus tidak merajam si
wanita itu, maaf kalau saya Muallaf mengajari Orang Nasrani tujuan saya
adalah bahwa memberi tahu kepada saudara Muslim bahwa justru umat islam
yang mengikuti apa diajarkan Nabi Musa dan Nabi Yesus, inilah maksud
kenapa Yesus tidak merajam si wanita adalah:
Coba lihat ayat 6 Ini lengkapnya:
Yohanes 8:6 Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya
mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk
lalu menulis dengan jari-Nya di tanah.
Ini nih alasannya: Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia.
Yesus tahu para ahli Taurat dan Farisi berniat jahat, kasus yang mereka
bawa semata-mata ingin mencari kesalahan Yesus – BUKAN UNTUK MENEGAKAN
HUKUM TUHAN – oleh karena itu, Yesus mengajukan argumen balik kepada
mereka:
Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”
Lalu kenapa Yesus mengatakan barangsiapa yang tidak berdosa? Karena
tidak satupun diantara mereka yang benar-benar tulus dan ikhlas ingin
menegakan hukum Tuhan pada kejadian itu. Karena kesetiaan menegakan
hukum Taurat adalah perintah yang di wajibkan dalam Perjanjian Lama, ini
ayatnya:
Ulangan 31:12 Seluruh bangsa itu berkumpul, laki-laki, perempuan dan
anak-anak, dan orang asing yang diam di dalam tempatmu, supaya mereka
mendengarnya dan belajar takut akan TUHAN, Allahmu, dan mereka melakukan
dengan setia segala perkataan hukum Taurat ini
Sedangkan kondisi sama tidak di temukan pada diri ahli Taurat dan
Farisi saat membawa wanita pezinah, mereka tidak setia, namun hanya
ingin mencelakakan Yesus oleh karenanya mereka berdosa dan tidak berani
menimpuk.
Dan pertanyaan berikutnya, kenapa Yesus tidak merajam si wanita
setelah ahli Taurat & Farisi pergi, tetapi ia mengatakan Akupun
tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai
dari sekarang:
Yohanes 8:11
Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: /”Akupun tidak menghukum
engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Untuk menjawab pertanyaan diatas ini lah jawabannya:
Ketentuan Taurat tentang hukuman mati:
Ulangan 17:2
“Apabila di tengah-tengahmu di salah satu tempatmu yang diberikan
kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, ada terdapat seorang laki-laki atau
perempuan yang melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, Allahmu, dengan
melangkahi perjanjian-Nya,
Ulangan 17:3
dan yang pergi beribadah kepada allah lain dan sujud menyembah
kepadanya, atau kepada matahari atau bulan atau segenap tentara langit,
hal yang telah Kularang itu;
Ulangan 17:4
dan apabila hal itu diberitahukan atau terdengar kepadamu, maka engkau
harus memeriksanya baik-baik. Jikalau ternyata benar dan sudah pasti,
bahwa kekejian itu dilakukan di antara orang Israel,
Ulangan 17:5
maka engkau harus membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan
perbuatan jahat itu ke luar ke pintu gerbang, kemudian laki-laki atau
perempuan itu harus kaulempari dengan batu sampai mati.
Ulangan 17:6
Atas keterangan dua atau tiga orang saksi haruslah mati dibunuh orang
yang dihukum mati; atas keterangan satu orang saksi saja janganlah ia
dihukum mati.
Kenyataan dalam kasus ini adalah:
1. Dalam kisah Yesus dan Perempuan berzinah tidak ada satupun diantara penuduh yang berani maju jadi saksi.
2. Yang hendak dirajam hanya perempuan itu saja, sementara laki-lakinya tidak tahu ada dimana.
3. Dalam tatanan ibadah Yahudi waktu itu, Yesus tidak menjabat sebagai
Imam ataupun seorang Lewi sehingga Dia tidak dapat menjadi Hakim,
singkatnya kasus ini dibawa oleh gerombolan Yahudi kepada seseorang
tidak menjabat sebagai ‘Sandherin (Hakim Agama)’.
4. Perajaman tidak hendak dilakukan di luar pintu gerbang.
Maka dalam tatanan Yahudi waktu itu, Yesus tidak dapat menjadi menjabat sebagai Hakim :
Ulangan 17:9
haruslah engkau pergi kepada imam-imam orang Lewi dan kepada hakim yang
ada pada waktu itu, dan meminta putusan. Mereka akan memberitahukan
kepadamu keputusan hakim.
dan lagi
Ulangan 17:7
Saksi-saksi itulah yang pertama-tama menggerakkan tangan mereka untuk
membunuh dia, kemudian seluruh rakyat. Demikianlah harus kauhapuskan
yang jahat itu dari tengah-tengahmu.”
Maka, kita bisa pahami bahwa yang harus merajam pertama ialah saksi mata dari perzinahan tersebut.
Kesimpulan:
1. Menurut Hukum Taurat : perempuan berzinah itu tidak boleh dihukum
mati karena tidak terpenuhinya ‘prosedur’ yang ditentukan Taurat
2. Kalau Yesus menghukum/ merajam perempuan itu, berarti Dia-lah yang melanggar Hukum Taurat
Jadi kesimpulannya bahwa Yesus tidak menghapus hukum fisik yang
tertera dalam Taurat, sudah jelas dan terang melalui pengakuan Yesus
sendiri ia tidak datang untuk hapus Taurat:
“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum
Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya,
melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya
selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun
tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.
SETIAP ORANG KAFIR KRISTEN yang ditanya, “Apakah kamu mengikuti hukum dan firman-Nya?”
Mereka akan menjawab, “Tidak!” Jika ditanya lagi, “Mengapa tidak?”
Jika ia adalah seorang yang tidak taat pada Alkitab, maka ia akan
menjawab, “Hukum tersebut sudah kuno dan dibuang. Kita hidup dalam zaman
modern sekarang.”
DALAM AJARAN ISLAM
Pezina yang pernah menikah (al-Muhshân) dihukum rajam (dilempar
dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an, hadits
mutawatir dan ijma’ kaum muslimin.
Ayat yang menjelaskan tentang hukuman rajam dalam al-Qur`an meski telah
dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar bin
Khatthab Radhiyallahu ‘anh menjelaskan dalam khuthbahnya :
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ عَلَى نَبِيِّهِ الْقُرْآنَ وَكَانَ فِيْمَا
أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا
وَعَقَلْنَاهَا وَرَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَرَجَمْنَا
بَعْدَهُ وَ أَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُوْلُوْا : لاَ
نَجِدُ الرَّجْمَ فِيْ كِتَابِ الله فَيَضِلُّوْا بِتَرْكِ فَرِيْضَةٍ
أَنْزَلَهَا اللهُ وَ ِإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ
عَلَى مَنْ زَنَا إِذَا أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ
الْحَبَل أَوْ الإِعْتِرَاف.
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur`an kepada NabiNya dan
diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami telah
membaca, memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah melaksanakan hukuman rajam dan kamipun telah
melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah berlalu
lama, akan ada orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak mendapatkan
hukuman rajam dalam kitab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran
meninggalkan kewajiban yang Allah Azza wa Jalla telah turunkan. Sungguh
(hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah untuk orang yang
berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshân), bila telah terbukti
dengan pesaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri”. [HR Bukhari dan
Muslim]
Ini adalah persaksian khalifah Umar bin al-Khatthâb Radhiyallahu
‘anhu diatas mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
dihadiri para sahabat sementara itu tidak ada seorangpun yang
mengingkarinya . Sedangkan lafadz ayat rajam tersebut diriwayatkan dalam
Sunan Ibnu Mâjah berbuny :
وَالشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتَهْ نَكَلاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Syaikh lelaki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah
keduanya sebagai balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah maha
perkasa lagi maha bijaksana
[HR Ibnu Majah, shahih].
Sedangkan dasar hukuman rajam yang berasal dari sunnah, maka ada
riwayat mutawatir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik
perkataan maupun perbuatan yang menerangkan bahwa beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah merajam pezina yang al-Muhshân (ats-Tsaib
al-Zâni)
[Tas-hîlul-Ilmâm bi Fiqhi Lil Ahâdîts Min Bulûgh al-Marâm]
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Para ulama telah berijma’
(sepakat) bahwa orang yang dihukum rajam, terus menerus dilempari batu
sampai mati.
[Dinukil dari al-Mughni 12/310]
Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: Kewajiban merajam pezina
al-muhshân baik lelaki atau perempuan adalah pendapat seluruh para ulama
dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama-ulama setelah mereka diseluruh
negeri islam dan kami tidak mengetahui ada khilaf (perbedaan pendapat
diantara para ulama) kecuali kaum Khawarij [Al-Mughni 12/309].
Meski demikian, hukuman rajam ini masih saja diingkari oleh
orang-orang Khawarij dan sebagian cendikiawan modern padahal mereka
tidak memiliki hujjah dan hanya mengikuti hawa nafsu serta nekat
menyelisihi dalil-dalil syar’i dan ijma’ kaum muslimin. Wallahul
musta’an.
Hukuman rajam khusus diperuntukkan bagi pezina al-muhshân (yang sudah
menikah dengan sah-red) karena ia telah menikah dan tahu cara menjaga
kehormatannya dari kemaluan yang haram dan dia tidak butuh dengan
kemaluan yang diharamkan itu. Juga ia sendiri dapat melindungi dirinya
dari ancaman hukuman zina.
Dengan demikian, udzurnya (alasan yang sesuai
syara’) terbantahkan dari semua sisi . dan dia telah mendapatkan
kenikmatan sempurna. Orang yang telah mendapatkan kenikmatan sempuna
(lalu masih berbuat kriminal) maka kejahatannya (jinayahnya) lebih keji,
sehingga ia berhak mendapatkan tambahan siksaan[dinukil dari al-Mulakhas al-Fiqhi 2/529].
Syarat al-Muhshân.
Rajam tidak diwajibkan kecuali atas orang yang dihukumi al-Muhshân. Dari
keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa seorang dihukumi sebagai
al-Muhshaan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Pernah melakukan jima’ (hubungan seksual) langsung di kemaluan.
Dengan demikian, orang yang telah melakukan aqad pernikahan namun belum
melakukan jima’ , belum dianggap sebagai al-Muhshân.
2. Hubungan seksual (jima’) tersebut dilakukan berdasarkan pernikahan sah atau kepemilikan budak bukan hubungan diluar nikah
3. Pernikahannya tersebut adalah pernikahan yang sah.
4. Pelaku zina adalah orang yang baligh dan berakal.
5. Pelaku zina merdeka bukan budak belian.
Dengan demikian seorang dikatakan al-Muhshân, apabila kriteria diatas
sudah terpenuhi.[lihat penjelasan para ulama dalam kitab al-Mughni
12/314-318]
b. Pezina Yang Tidak al-Muhshân
Pelaku perbuatan zina yang belum memenuhi kriteria al-muhshân, maka
hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Ini adalah kesepakatan
para ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
(cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (cambuk)”.
[An-Nûr/24:2]
Al-Wazîr rahimahullah menyatakan : “Para ulama sepakat bahwa pasangan
yang belum al-muhshân dan merdeka (bukan budak-red), apabila mereka
berzina maka keduanya dicambuk (dera), masing-masing seratus kali.
Hukuman mati (dengan dirajam-red) diringankan buat mereka menjadi
hukuman cambuk karena ada udzur (alasan syar’i-red) sehingga darahnya
masih dijaga. Mereka dibuat jera dengan disakiti seluruh tubuhnya dengan
cambukan. Kemudian ditambah dengan diasingkan selama setahun menurut
pendapat yang rajah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
خُذُوْا عَنِّيْ ، خُذُوْا عَنِّيْ ، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ
سَبِيْلاً ، الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جِلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ .
“Ambillah dariku! ambillah dariku! Sungguh Allah telah menjadikan
bagi mereka jalan, yang belum al-muhshaan dikenakan seratus dera dan
diasingkan setahun.” [HR Muslim].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan : “Apabila tidak
muhshân , maka dicambuk seratus kali, berdasarkan al-Qur`an dan
diasingkan setahun dengan dasar sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.[Majmû’ Fatâwâ 28/333 dinukil dari Taisîr al-Fiqhi al-Jâmi’ Li
Ikhtiyârât al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islâm Ibnu Taimiyah, DR. Ahmad Muwâfi
3/1445].
KEKHUSUSAN HUKUMAN PEZINA.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tiga karakteristik khusus bagi hukuman zina :
1. Hukuman yang keras, yaitu rajam untuk al-Muhshân dan itu adalah
hukuman mati yang paling mengenaskan dan sakitnya menyeluruh keseluruh
badan. Juga cambukan bagi yang belum al-muhshân merupakan siksaan
terhadap seluruh badan ditambah dengan pengasingan yang merupakan
siksaan batin.
2. Manusia dilarang merasa tidak tega dan kasihan terhadap pezina
3. Allah memerintahkan pelaksanaan hukuman ini dihadiri sekelompok kaum
mukminin. Ini demi kemaslahatan hukuman dan lebih membuat jera.
Hal ini disampaikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang
yang beriman” [an-Nûr/24:2]
SYARAT PENERAPAN HUKUMAN ZINA.
Dalam penerapan hukuman zina diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Pelakunya adalah seorang mukallaf yaitu sudah baligh dan berakal (tidak gila).
2. Pelakunya berbuat tanpa ada paksaan.
3. Pelakunya mengetahui bahwa zina itu haram, walaupun belum tahu hukumannya.[Syarhu al-Mumti’ 14/207-210]
4. Jima’ (hubungan seksual) terjadi pada kemaluan.
5. Tidak adanya syubhat. Hukuman zina tidak wajib dilakukan apabila
masih ada syubhat seperti menzinahi wanita yang ia sangka istrinya atau
melakukan hubungan seksual karena pernikahan batil yang dianggap sah
atau diperkosa dan sebagainya.
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan : “Semua para ulama yang saya
hafal ilmu dari mereka telah berijma’ (bersepakat) bahwa had (hukuman)
dihilangkan dengan sebab adanya syubhat.” [al-Mulakhas al-Fiqhiy,
530-531]
6. Zina itu benar-benar terbukti dia lakukan. Pembuktian ini dengan dua perkara yang sudah disepakati para ulama yaitu:
6.1. Pengakuan dari pelaku zina yang mukallaf dengan jelas dan tidak
mencabut pengakuannya sampai hukuman tersebut akan dilaksanakan.
6.2. Persaksian empat saksi yang melihat langsung kejadian, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
لَوْلَا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu.” [an-Nûr/24:13]
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi.….”
[An-Nûr/24:4]
Persaksian yang diberikan oleh para saksi ini akan diakui keabsahannya, apabila telah terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Mereka bersaksi pada satu majlis
b. Mereka bersaksi untuk satu kejadian perzinahan saja
c. Menceritakan perzinahan itu dengan jelas dan tegas yang dapat
menghilangkan kemungkinan lain atau menimbulkan penafsiran lain seperti
hanya melakukan hal-hal diluar jima’.
d. Para saksi adalah lelaki yang adil
e. Tidak ada yang menghalangi penglihatan mereka seperti buta atau lainnya.
Apabila syarat-syarat ini tidak sempurna, maka para saksi dihukum
dengan hukuman penuduh zina. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ
شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik” [an-Nûr/24:4]
Penetapan terjadinya perbuatan zina dan pemutusan saksi dengan
berdasarkan persaksian dan pengakuan si pelaku yang disebutkan diatas,
telah disepakati oleh para ulama. Dan para ulama masih berselisih
pendapat tentang hamil diluar nikah. Bisakah hal ini dijadikan sebagai
dasar untuk menetapkan bahwa telah terjadi perbuatan zina atau orang ini
telah melakukan perbuatan zina sehingga berhak mendapatkan sanksi ?
Para ulama berselisih menjadi dua pendapat :
Pertama : Pendapat jumhur yaitu madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan
Hambaliyah (hanabilah) menyatakan bahwa hukuman pezina tidak ditegakkan
atau dilaksanakan kecuali dengan pengakuan dan persaksian saja.
Kedua : Pendapat madzhab Malikiyah menyatakan hukuman pezina dapat ditegakkan dengan indikasi kehamilan.
Yang rajih dari dua pendapat diatas adalah pendapat madzhab Malikiyah
sebagaimana dirajihkan syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah.
Beliau rahimahulllah menyatakan bahwa seorang wanita dihukum dengan
hukuman zina apabila ketahuan hamil dalam keadaan tidak memiliki suami,
tidak memiliki tuan (jika ia seorang budak-red) serta tidak mengklain
adanya syubhat dalam kehamilannya.[Lihat Majmu’ Fatawa 28/334]
Beliau rahimahullah pun menyatakan : “Inilah yang diriwayatkan dari
para khulafâ’ rasyidin dan ia lebih pas dengan pokok kaedah
syari’at.[ibid]
Dalil beliau rahimahullah dan juga madzhab Malikiyah adalah pernyataan Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu dalam khutbahnya :
وَ ِإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ عَلَى مَنْ زَنَا
إِذَا أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَل أَوْ
الإِعْتِرَاف.
“Sungguh rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah atas orang yang
berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshaan), bila tegak padanya
persaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri” [HR Bukhari dan
Muslim].
Jelaslah dari pernyataan Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu ‘anhu
diatas bahwa beliau menjadikan kehamilan sebagai indikasi perzinahan dan
tidak ada seorang sahabatpun waktu itu yang mengingkarinya.
al-Hâfidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari riwayat Umar
Radhiyallahu ‘anhu diatas dengan menyatakan: (Dalam pernyataan Umar
diatas) ada pernyataan bahwa wanita apabila didapati dalam keadaan hamil
tanpa suami dan juga tidak memiliki tuan, maka wajib ditegakkan padanya
hukuman zina kecuali bila dipastikan adanya keterangan lain tentang
kehamilannya atau akibat diperkosa.[Fathu al-Baari 12/160]
Penutup
Tidak dapat dipungkiri, meninggalkan syari’at islam akan menimbulkan
akibat buruk di dunia dan akhirat. Kaum muslimin jauh dari ajaran agama
mereka, menyebabkan mereka kehilangan kejayaan dan kemuliaan. Diantara
ajaran islam yang ditinggalkan dan dilupakan oleh kaum muslimin adalah
hukuman bagi pezina (Hadduz-Zinâ). Sebuah ketetapan yang sangat efektif
menghilangkan atau mengurangi masalah perzinahan. Ketika hukuman ini
tidak dilaksanakan, maka tentu akan menimbulkan dampak atau implikasi
buruk bagi pribadi dan masyarakat.
Realita dewasa ini mestinya sudah cukup menjadi pelajaran bagi kita untuk memahami dampak buruk ini.
Melihat realita ini, maka sangat perlu ada yang mengingatkan kaum
muslimin terhadap hukuman ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan
kesadaran dan menguatkan keyakinan mereka akan kemuliaan dan keindahan
syari’at islam
Wallahu a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar